Difinisi As-Sunnah
Kata Sunnah berasal dari kata yang berarti cara yang biasa dilakukan, apakah cara itu
sesuatu yang baik ataupun yang
tercela. Diambil dari perkataan orang Arab : sannal maa’u, yang berarti air yang mengalir secara terus menerus
dan berkesinambungan.
Menurut istilah
syara as-Sunnah ialah “segala sesusatu yang datang dari Rasulullah baik ucapan,
perbuatan ataupun tairir”.
·
As-Sunnah Fi’liyah adalah segala perbuatan Rasulullah saw, misalnya beliau
mengerjakan shalat lima waktu lenglap dengan kaifiyahnya.
·
As-Sunnah Tkririyah adalah segala perbuatan sahabat nabi yang disetujui oleh
Rasulullah saw baik mengenai ucapan sahabat atau perbuatan mereka. Takrir
disini terkadang dengan cara membiarkan atau tidak ada tanda-tanda atau
merestui atau menganggap baik terhadap perbuatan itu.
Hubungan
Al-Qur’an dan As-Sunnah
As-Sunnah adalah penafsiran praktis terhadap Al-Qur’an,
implementasi realistis dan juga implementasi ideal Islam. Pribadi Nabi Muhammad
saw itu sendiri adalah merupakan penafsiran Al-Qur’an dan pengewajantahan
Islam.
Pengertian itu telah diketahui oleh Ummul Mu’minin ‘Aisyah ra
dengan pemahaman pengetahuannya dan dengan pergaulannya bersama Rasulullah saw.
Maka ia mengungkapkan dengan ungkapan-ungkapan cemerlang mengandung kedalaman
arti ketika ia ditanya tentang budi pekerti Rasulullah saw, ia menjawab “budi
pekertinya adalah Al-Qur’an” khulkuhul
qur’an.
Ditinjau dari segi kehujjahannya dan rujukan di dalam pembentukkan
hukum Islam, maka hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an sebgai urutan yang
mengiringi atau sebagai urutan kedua setelah Al-Qur’an yakni sebagai rujukan
dalam menentukan hukum jika memang tidak mendapatkan di dalam Al-Qur’an.
Ditinjau
dari segi hukum yang ada3 persepektif As-Sunnah
Kemudian Imam
Al-Baihaqi menjelaskan pendapatnya dalam suatu bab “bayanu wujuhis sunnah”,
bahwa imam As-Syafi’i berkata, kedudukan sunnah Rasulullah saw mempunya tiga
perspektif, ialah :
1.
Adakalanya Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah ada di
dalam Al-Qur’an. Dengan demikian hukum tersebut mempunyai dua sumber.
Berdasarkan hukum tersebut terdapat perintah untuk mendirikan shalat, membayar
zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, ibadah haji ke Baitullah. Dan tentang
larangan menyekutukan Allah SWT, dilarang berzina, persaksian palsu dan
perintah serta larangan lainnya ditunjukkan Al-Qur’an dan dikuatkan oleh
As-Sunnah sehingga di atas keduanya berdiri dalil.
Yang diturunkan
Allah dalam Al-Qur’an sebagai suatu nash, maka Rasulullah melaksanakannya
sebagaimana isinya.
2.
Kadang juga Sunnah berfungsi sebagai penafsi atau perinci dari
hal-hal yang disebut secara mujmal dalam Al-Qur’an secara mutlak atau
memberikan tahkshis (pengecualian) terhadap hukum yang ‘am (umum).
3.
Kadang pula Sunnah tersebut menetapkan dan membentuk hukum yang
tidak terdapt di dalam Al-Qur’an. Atau Sunnah ini menetapkan hukum yang tudak
disebutkan di dalam nash Al-Qur’an. Diantara hukum ini adala haramnya binatang
buas punya taring dan burung yang
berkuku tajam untuk dimakan.
Sebagian ulama
menemukakan pendapat bahwa Allah sengaja mewajibkan Nabi taat kepadaNya, dimana
hal Allah telah megetahuinya dan memberikannya taufik kepadanya, sehingga
meridhai segla sunnahnya berkaitan dengan tidak adanya hukum yang terdapat pada
nash Al-Qur’an.
Kehujjahan
As-Sunnah
Umat Islam
sepakat bahwa apa saja yang datang dari Rasulullah saw baik ucapan, perbuatan
atau taqrir membentuk suatu hukum atau tuntunan yang disampaikan kepada kita
dengan sanad yang shahih dan mendatangkan yang qath’i atau zanni. Karenanya
dengankebenaran itu adalah sebagai hujjah bagi umat Islam yang boleh untuk para
mujtahid dijadikan sebagi rujukan istimbat dan hukum-hukum syri’at.
Kehujjahan
As-Sunnah ini dapat dibuktikan sebagai berikut :
a)
Adanya nash-nash Al-Qur’an yand g dalam ini Allah SWT memerintahkan melalui ayat-ayatNya untuk taat
kepada Rasulullah, ini berarti mentaati
Allah SWT. Allah juga memerintahkan kepada umat Islam jika mereka berselisih
faham tentang suatu masalah, hendaknya mengemabalikan persoalan tersebut kepada
Allah dan RasulNya.
b)
Ketika Rasulullah saw masih hidup para sahabat meleksanakan
hukum-hukum dan meleksanakan segala perintah dan larangan-larangannya, serta
tentang halal dan haram. Wajar jika Muadz bin Jabal menyatakan “jika tidak aku
dapatkan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dalam rangka menghukum sesuatu,
maka aku akan memutuskannya dengan Sunnah Rasul”.
c)
Di dalam Al-Qur’an Allah SWT telah jelas mewajibkan kepada umat
manusia untuk melakuakan ibdah fardhu dan lafazh tanpa penjelasan secara
ditail, baik mengenai cara hukumnya maupun cara melaksanakannya. Sesuai firman
Allah SWT :
“...........dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat........”(Q.S.
4 : 77)
“..........diwajibkan atas kamu berpuasa..........(Q.S.
52 : 83)
Batalnya
Hujjah Golongan Yang Menolak Sunnah
Imam Al-Baihaqi
telah meguraikan suatu bab pejelasan batalnya dalil yang dijadikan alasan
alasan dan dasar hukum (hujjah) oleh sebagai orang yang bersikap menolak sunnah
Rasulullah, yaitu yang diriwayatkan oleh orang-orang yang haditsnya dinilai
dhaif. Maksudnya dengan hadits tersebut untuk menolak sunnah Rasulullah dan
terbatas hanya menerima qur’an saja.
Imam As-Syafi’i
mengatakan, sebagian mereka yang bersikap menolak sunnah Rasulullah
berargumentasi kepada saya melalui suatu riwayat yang mengatakan bahwa “ sesuatu yang datang dariku maka
bandingkanlah olehmu dengan kitabullah (Al-Qur’an). Sesuatu yang denga
Al-Qur’an, berarti aku telah mengatakannya dan sesuatu yang menyalahi
Al-Qur’an, berarti aku tidak mengatakannya”
Imam As-Syafi’i
mengatakan bahwa sunnah sama sekali tidak
akan menyalahi Al-Qur’an. Bahkan Sunnah Rasulullah akan menjelaskan arti
yang terkandung dalam Al-Qur’an “aam, naskh atau manshukh. Kemudian para
sahabat menunaikan ketentuannya apa yang dilakukan Rasul, karena diwajibkan
oleh Allah SWT maka orang yang menerima tuntunan dari Rasulullah identik dengan
menerimanya dari Allah SWT.
Imam Al-Baihaqi
mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif,
tidak dapat dijadikan dasar hukum, yang semisal tulisan bin Abdullah bin
Dhamirah.
Kemudian
Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad dari shaleh bin Musa dari Abdul Aziz bin
Rafi’ dari Abi Shalih dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah
bersabda : “sesungguhnya akan datang
kepadamu beberapa hadits yang saling bertentangan kepdamu yang, sesuai denga
Al-Qur’an dan Sunnahku itu’ berarti datwang dari ku , dan sesusatu yang datang
kepadamu menyalahi Al-Qur’an dan Sunnahku berarti bukan dariku”.
Menurut
pendapat kami, hal seperti itu menujukkan pengeritan sunnah sebagaimana
pandangan kita, bukan menydutkan kita. Bukanlah anda dapat memperhatikan sabad
Nabi saw pada hadits tersebut.” Sesuatu
yang datang kepadamu yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnahku. “
Kami yang tidak
melihat satupun ulama ahli hadits yang meriwayatknnya dari Abu Hurairah.
Al-Baihaqi menandaskan bahwa Yahya bin Adum didalam sanad dan matannya terdapat
banyak perselisihan, sehingga menjadikan hadits ini mutharib, sebab sebgian
mereak menceritakan hadits itu dari Abu Hurairah dan sebagian yang lain tidak menyebut
dari Abu Hurairah, memandangnya hadits Murshal. Sedang yang lain menyampaikan
dengan matan : “apabila engkau meriwayatkan suatu hadits dariku, maka
pertimbangkanlah dengan kitabullah.”
Perkataan
dan Perbuatan Rasul yang tidak termasuk
Syari’at Islam
Perkataan dan
perbubatan Rasullah saw itu hanya dapat dijadikan hujjah dan harus di ikuti
setiap muslim jika hal-hal tersebut datang benar-benar dari Rasul sehingga
membentuk syari’at secara umum.
Allah SWT
berfiman :
“katakanlah, sesungguhnya aku
ini hanya seorang manusia seperit kamu yang diwahyukan kepadaku.........”(Q.S.
18 : 10)
a)
Yang bersumber dari Rasulullah saw yang sifatnya manusiawi,
misalnya berdiri, duduk, berjalan, makan, tidur, minum bukanlah merupakan hukum
syariat. Sebab perbuatan-perbuatan tersebut tidak bersumber dari misi
kerasulannya, hanya pangkal kepada naluri kemanusiaannya.
b)
Yang bersumber dari Rasulullah saw yang sifatnya pengetahuan manusia,
kepintaran dan percobaan tentang masalah dunia, misalnyamengembala, bertani,
berdagang.
c)
Apa-apa yang bersumber dari Rasulullah dan ada yang menunjukkan
tentang kekhususan Nabi disamping bukan merupakan syariat Islam umum, misalnya
kebolehan bagi beliau untuk menikah lebia dari empat wanita.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas Mutawatil Hammadah, Sunnah Nabi, Gema Risalah Press. Bandung.
1997.
Abdul Wahab Khalaf, Imu Ushul Fiqh, Gema Risalah Press, Bandung,
1996.
Al-Qardawi Yusuf, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar, Media
Dakwah, Jakarta, 1994.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, Logos Ilmu, Jakarta,1997.
As-Suyuthi Jalaluddin, Argumentasi As-Sunnah kontra atas
Penyimpangan Sumber Hukum Orisinil, Risalah Gusti. Surabaya, 1997.