Minggu, 29 Maret 2015

ANALOGI UANG TERHADAP PERTUNJUKAN MUSIK

Kebanyakan orang menganggap bahwa musik merupakan seni yang cukup menikmatinya dengan cara didengarkan saja, tidak dengan cara lainnya. Berbeda halnya dengan memasuki industri musik, hematnya adalah rekaman. Rekaman hanyalah bagian dari pendokumentasian sebuah hasil karya musik yang hanya dapat dinikmati dengan mendengarkannya saja, bertujuan untuk memperkenalkannya kepada publik dengan cara yang efesien tanpa harus berhadapan langsng dengan penikmat. Namun bukanlah itu yang dimaksud dari karya seni musik yang sesungguhnya. Bahkan di era industri musik sekarang, menurut keterangan salah satu teman penulis yang pernah mendemokan album lagu ke salah satu label (mayor) musik di Jakarta bahwa ironinya rekaman dapat dimanipulasi. Misalnya ada sebuah grup band akan merekam sebuah hasil karnyanya. Namun pengisi musik di dalam rekaman tersebut dapat diisi oleh orang yang bukan dari personil band itu sendiri, karena dianggap (sebagian) personil  tersebut masih belum mempunyai kemampuan bermusik mumpuni oleh produser rekaman. Pada hakikatnya di kalangan akademis khususnya seni musik adalah bagian dari seni pertunjukan (performance of art), yang mempunyai bentuk audio dan visiual. Artinya adalah musik harus dinikmati dengan cara melihat dan didengarkan. Maka aksi panggung, mimik muka, emosi, penampilan, penghayatan serta keterampilan berbicara kepada audiens juga sangat diperlukan, agar mempunyai “nilai jual” yang layak.
Dalam filsafat seni, karya seni harus mengandung banyak nilai (esensi), karena dengan nilai karya seni akan dianggap berkualitas. Misalnya nilai keindahan/estetika, sosial, kritik, hayati dan lainnya. Maka salah satu cara agar nilai karya seni musik dapat tersampaikan kepada penonton adalah dengan memaksimalkan penampilan (visual), diantaranya penghayatan, berpakaian, bahasa tubuh, mimik, intonasi, bahkan menyampaikan sinopsis karya tersebut sebelum maupun sesudah penampilan. Penghayatan dalam memebawakan sebuah musik dapat kita dapati pada mimik muka, emosi, bahasa tubuh. Begitu juga berpakaian/style dalam pertunjukan musik sangatlah berpengaruh, tidak mungkin pelaku seni menampilkan musik etnik Bali berpakaian Melayu Banjar.
Tidak semua penonton mengerti esensi atas sebuah karya seni musik dengan cara menontonnya saja, maka disinilah tugas seorang seniman untuk pandai berkomunikasi(berbicara) menyampaikan sinopsis dengan baik. Sehingga nilai yang terkandung dalam karyanya tersebut dapat diterima dengan baik oleh penonton. Hal ini banyak dilakukan oleh para seniman di daerah yang tergolong maju akan keseniannya, salah satunya Ehma Ainun Najib (caknun) beserta grup Kiai Kanjeng dan Teater Dinasti dalam acara Musikalisasi Puisi yang diselenggarakan di Taman Budaya Yogyakarta 2013.
Analogi sederhananya adalah seperti uang kertas pecahan 10.000. Uang merupakan benda yang berharga bagi kita, karena dengan uang kita dapat memenuhi segala kepuasan yang kita inginkan. Uang merupakan benda yang mempunyai dua sisi yang berbeda, namun saling memerlukan. Apabila salah satu bagian saja tidak ada, misalnya bagian gambar Sultan Mahmud Badaruddin, yang ada hanya gambar Rumah Limas, maka benda ini tidak disebut sebagai uang dan tidak mempunyai nilai apapun. Atau apabila sisi dari uang 10.000 misalnya gambar Rumah Limas kita corat-coret hingga terlihat sangat kotor, maka dapat dipastikan tidak ada seorangpun yang ingin untuk menggunakan ataupun menukarkannya, karena juga dianggap tidak mempunyai nilai apapun.
Sama halnya dengan musik, kemampuan bermusik saja tidak cukup apabila tidak diimbangi dengan kemampuan lainnya, misalnya kemampuan verbal. Kemampuan berbicara kepada penonton adalah salah satu cara agar penonton merasa dihargai atas kehadirannya. Prof. Djohan menegaskan dalam kuliahnya di kelas Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta, bahwa kemampuan bermusik sesungguhnya mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan kemampuan verbal, hal ini sudah banyak terbukti dari berbagai penelitian.

Dapat disimpulkan bahwa seni musik seperti uang pecahan 10.000, gambar Sultan Mahmud Badaruddin sebagai kemampuan memainkan instrumen musik dan gambar Rumah Limas adalah sebagai kemampuan aksi panggung (komunikatif/kemampuan verbal, penghayatan, mimik dsb). Dua sisi ini saling memerlukan agar mempunyai nilai tukar bagi uang dan “nilai jual” bagi seni musik.

Sabtu, 28 Maret 2015

RELAVANSI PENCATATAN HUKUM ISLAM DENGAN HUKUM POSITIF


Islam tidak mengajaran secara langsung pernikahan itu harus dicatatkan ke dalam buku kepemerintahan suatu negara. Tidak ada anjuran maupun perintah yang secara tegas dalam firman Allah swt Al-Qur’an maupun sabda Rasulullah saw. Pada zaman para mazhab fuqaha juga tidak didapati praktek pencatatan nikah ke dalam buku negara, maupun dalam kitab-kitab fiqihnya. Hanya ada dalam praktek para mazhab fiqih adalah konsep nikah sirri. Berdasarkan atas kepercayaan setiap individu maupun kelampok. Karena permasalahan pada zaman tersebut tidak terlalu kompleks seperti pada zaman modern hingga detik ini.
·         Konsep Perundang-undangan Keluarga Islam di Indonesia
UU No. 1 Tahun 1974 bukanlah UU pertama yang mengatur tentang pencatatan perkawinan bagi muslim Indonesia. Sebelumnya sudah ada UU No. 22 Tahun 1946, yang mengatur tentang Pencatatan Nikah, talak dan rujuk. Tentang pencatatan perkawinan dalam UU No. 22 Tahun 1946 disebutkan:
(i)     Perkawinan diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah
(ii)   Bagi pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pengawasan dari Pegawai Pencatat Nikah dikenakan hukuman karena merupakan satu pelanggaran.
Kemudian dalam UU No. 1 Tahun 1974, yang pelaksanaannya berlaku secara efektif mulai tanggal 1 Oktober 1975, tentang pencatatan perkawinan disebutkan, “ tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan Perundang-undangan yang berlaku “.
Kemudian dalam PP No. 9 Tahun 1975 yang merupakan peraturan tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan bagi penganut Islam dilakukan oleh pegawai pencatat, dengan tat cara (proses) pencatatan yang dimulai dengan:
(i)     Pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan
(ii)   Pelaksanaan akad nikah dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi
(iii) Penandatanganan akta perkawinan oleh kedua saksi, pegawai pencatat dan wali
Orang yang tidak memberitahu kepada pegawai pencatat tentang melaksanakan perkawinan, maka perbuatan tersebut adalah pelanggaran yang dapat dihukum dengan denda setinggi-tingginya Rp 7.500.
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, tujuan pencatatan perkawinan adalah untuk menjamin ketertiban perkawinan dan bukti bahwa seseorang sudah melangsungkan perkawinan dengan adanya pembuktian akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatatan nikah.   



·         Perbandingan UU Keluarga Muslim di Indonesia dengan Perundang-undangan di Negara  Lain
1.      Malaysia
      Petugas pencatat akta nikah diangkat oleh kedutaan atau konsul Malaysia di negara bersangkutan. Pencatatan nikah dilakukan sesudah akad nikah.  Klantan dan Perak dapat dilakukan  7 hari setelah akad nikah.Apabila tidak melakukannya, maka dianggap tindakkan pidana. Dapat didenda seribu ringgit atau kurungan selama 6 bulan.
2.      Brunei Darussalam
Orang yang melakukan pernikahan tanpa dicatatkan maka dianggap tindak pidana. Dapat dijatuhkan denda maupun kurungan.
3.      Singapore
Negara ini mengharuskan pencatatan nikah dilakukan, dan merupakan pelanggaran bagi yang tidak mencatatkan perkawinan. Bagi pelanggarnya dapat di hukum  maksimal 6 bulan penjara dan/ denda sebesar $500.
·         Perbandingan UU Keluarga (kontemporer) dengan Konsep Fikih (Konvensional)

Masalah
UU
Fikih
Pencatatan

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indoesia disebutkan bahwa pencatatan perkawinan dilakukan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat  Nikah.(pasal 5 ayat 2).
UU No. 1 Th. 1974, Pasal 2 ayat (2): Tiaptiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
Ayat (2): Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Penctat nikah sebagaimana diatur dalam UU
No. 22 Th. 1946 jo. UU No. 32 Th. 1954.
Dalam konsep fikih kalisik khususnya pernikahan tidak dicatatkan ke dalam dokumen negara. Cukup hanya dihadiri wali, saksi dan mempelai.
Cukup diumumkan/publikasikan dengan walimah,

·         Nash Tentang Pencatatan Pernikahan
Ø Al-Qur’an   
“ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang), akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian, dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan “. (Al-Baqarah: 282)
·         Pemahaman  Terhadap  Nash  Secara Kontekstual
Ada tiga poin yang dapat diambil dalam sejumlah nash tersebut yang mana memerintahkan untuk pengumuman, walimah, dan saksi tersebut.
1.)    Pernikahan merupakan urusan publik, masyarakat harus mengetahui  dengan status pernikahan seseorang. Baik orang yang berkepentingan secara langsung maupun tidak langsung. Maka dari itu Rasul memerintahkan (I’lan) berita luaskan tentang adanya pernikahan.
2.)    Masyarakat diharapkan dapat menjadi sarana pengakuan dan penjamin hak atas status tersebut.
3.)    Adapun bentuk pengakuan dan penjaminan hak tersebut lahir dalam walimatul urs  dan publikasi.
·         Tujuan (maqasid al Syariah), ‘Illat Sesuai dengan Konteks di Masa Nabi Saw
Konten dari beberapa nash tersebut tentang walimatul urs adalah ketika diselenggarakannya sebuah pernikahan, maka masyarakat yang ada disekitar wajib sekiranya mengetahui. Agar terhindarnya suatu fitnah atas kedua pasangan mempelai tersebut. Dengan demikian kemaslahatannya dan ketenangan psikologis dalam keluarga terjamin oleh pengakuan masyarakat . Misalnya ketika mempelai jalan bersama sambil bergandengan tangan. Kerena mereka telah menikah dan diketahui oleh publik, maka mereka tidak menjadi bahan pembicaraan yang negatif dalam masyarakat. Maupun  juga ketika pasangan mempelai mempunyai keturunan maka keturunan itu dapat diterima di tengah masyarakat.
·         Konteks Pada Masa Sekarang
Pada masa Nabi pengakuan dan jaminan terhadap kesahaan atas suatu perkawinan hanya cukup dengan pengumuman secara lisan kepada masyarakat. Namun seiring berkembangnya masyarakat yang madani, administrasi, ketatanegaraan, bentuk pengakuan dan jaminan ikut mengalami perkembangan. 
Pada masa sekarang bentuk pengakuan tidak hanya dengan mengadakan perayaan (walimah) saja, namun  juga negara ikut ambil andil dalam melindungi hak pasangan yang ingin melakukan pernikahan. Yaitu berupa pengakuan yang dituangkan dalam tulisan atau yang sering kita sebut akta nikah.
·         Ketetapan Hukum Untuk Masa Sekarang Sesuai dengan Tujuan dan Substansi Nash
Relevansi pengumuman kepada masyarakat pada masa nabi dengan pencatatan akta nikah atas suatu pernikahan adalah sama-sama dalam rangka menjamin pengakuan hak dari sang mempelai. Jika hanya pengumuman dilakukan masa sekarang tidak dapat dilaksakan lagi. Dikarenakan semakin bertambahnya jumlah masyarakat muslim maupun non-muslim. Maka perlu pembuktian status dengan tulisan atau  akta nikah.






SUMBER HUKUM ISLAM_al-Sunnah

Difinisi As-Sunnah
Kata Sunnah berasal dari kata yang berarti cara yang biasa dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik ataupun yang tercela. Diambil dari perkataan orang Arab : sannal maa’u, yang berarti air yang mengalir secara terus menerus dan berkesinambungan.
Menurut istilah syara as-Sunnah ialah “segala sesusatu yang datang dari Rasulullah baik ucapan, perbuatan ataupun tairir”.
·         As-Sunnah Fi’liyah adalah segala perbuatan Rasulullah saw, misalnya beliau mengerjakan shalat lima waktu lenglap dengan kaifiyahnya.
·         As-Sunnah Tkririyah adalah segala perbuatan sahabat nabi yang disetujui oleh Rasulullah saw baik mengenai ucapan sahabat atau perbuatan mereka. Takrir disini terkadang dengan cara membiarkan atau tidak ada tanda-tanda atau merestui atau menganggap baik terhadap perbuatan itu.
Hubungan Al-Qur’an dan As-Sunnah
As-Sunnah adalah penafsiran praktis terhadap Al-Qur’an, implementasi realistis dan juga implementasi ideal Islam. Pribadi Nabi Muhammad saw itu sendiri adalah merupakan penafsiran Al-Qur’an dan pengewajantahan Islam.
Pengertian itu telah diketahui oleh Ummul Mu’minin ‘Aisyah ra dengan pemahaman pengetahuannya dan dengan pergaulannya bersama Rasulullah saw. Maka ia mengungkapkan dengan ungkapan-ungkapan cemerlang mengandung kedalaman arti ketika ia ditanya tentang budi pekerti Rasulullah saw, ia menjawab “budi pekertinya adalah Al-Qur’an” khulkuhul qur’an.
Ditinjau dari segi kehujjahannya dan rujukan di dalam pembentukkan hukum Islam, maka hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an sebgai urutan yang mengiringi atau sebagai urutan kedua setelah Al-Qur’an yakni sebagai rujukan dalam menentukan hukum jika memang tidak mendapatkan di dalam Al-Qur’an.
Ditinjau dari segi hukum yang ada3 persepektif As-Sunnah
Kemudian Imam Al-Baihaqi menjelaskan pendapatnya dalam suatu bab “bayanu wujuhis sunnah”, bahwa imam As-Syafi’i berkata, kedudukan sunnah Rasulullah saw mempunya tiga perspektif, ialah :
1.      Adakalanya Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur’an. Dengan demikian hukum tersebut mempunyai dua sumber. Berdasarkan hukum tersebut terdapat perintah untuk mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, ibadah haji ke Baitullah. Dan tentang larangan menyekutukan Allah SWT, dilarang berzina, persaksian palsu dan perintah serta larangan lainnya ditunjukkan Al-Qur’an dan dikuatkan oleh As-Sunnah sehingga di atas keduanya berdiri dalil.
Yang diturunkan Allah dalam Al-Qur’an sebagai suatu nash, maka Rasulullah melaksanakannya sebagaimana isinya.
2.      Kadang juga Sunnah berfungsi sebagai penafsi atau perinci dari hal-hal yang disebut secara mujmal dalam Al-Qur’an secara mutlak atau memberikan tahkshis (pengecualian) terhadap hukum yang ‘am (umum).
3.      Kadang pula Sunnah tersebut menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapt di dalam Al-Qur’an. Atau Sunnah ini menetapkan hukum yang tudak disebutkan di dalam nash Al-Qur’an. Diantara hukum ini adala haramnya binatang buas punya taring dan burung  yang berkuku tajam untuk dimakan.
Sebagian ulama menemukakan pendapat bahwa Allah sengaja mewajibkan Nabi taat kepadaNya, dimana hal Allah telah megetahuinya dan memberikannya taufik kepadanya, sehingga meridhai segla sunnahnya berkaitan dengan tidak adanya hukum yang terdapat pada nash Al-Qur’an.  
Kehujjahan As-Sunnah
Umat Islam sepakat bahwa apa saja yang datang dari Rasulullah saw baik ucapan, perbuatan atau taqrir membentuk suatu hukum atau tuntunan yang disampaikan kepada kita dengan sanad yang shahih dan mendatangkan yang qath’i atau zanni. Karenanya dengankebenaran itu adalah sebagai hujjah bagi umat Islam yang boleh untuk para mujtahid dijadikan sebagi rujukan istimbat dan hukum-hukum syri’at.
Kehujjahan As-Sunnah ini dapat dibuktikan sebagai berikut :
a)      Adanya nash-nash Al-Qur’an yand g dalam ini Allah SWT  memerintahkan melalui ayat-ayatNya untuk taat kepada  Rasulullah, ini berarti mentaati Allah SWT. Allah juga memerintahkan kepada umat Islam jika mereka berselisih faham tentang suatu masalah, hendaknya mengemabalikan persoalan tersebut kepada Allah  dan RasulNya.
b)      Ketika Rasulullah saw masih hidup para sahabat meleksanakan hukum-hukum dan meleksanakan segala perintah dan larangan-larangannya, serta tentang halal dan haram. Wajar jika Muadz bin Jabal menyatakan “jika tidak aku dapatkan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dalam rangka menghukum sesuatu, maka aku akan memutuskannya dengan Sunnah Rasul”.
c)      Di dalam Al-Qur’an Allah SWT telah jelas mewajibkan kepada umat manusia untuk melakuakan ibdah fardhu dan lafazh tanpa penjelasan secara ditail, baik mengenai cara hukumnya maupun cara melaksanakannya. Sesuai firman Allah SWT :
“...........dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat........”(Q.S. 4 : 77)
“..........diwajibkan atas kamu berpuasa..........(Q.S. 52 : 83)
Batalnya Hujjah Golongan Yang Menolak Sunnah
Imam Al-Baihaqi telah meguraikan suatu bab pejelasan batalnya dalil yang dijadikan alasan alasan dan dasar hukum (hujjah) oleh sebagai orang yang bersikap menolak sunnah Rasulullah, yaitu yang diriwayatkan oleh orang-orang yang haditsnya dinilai dhaif. Maksudnya dengan hadits tersebut untuk menolak sunnah Rasulullah dan terbatas hanya menerima qur’an saja.
Imam As-Syafi’i mengatakan, sebagian mereka yang bersikap menolak sunnah Rasulullah berargumentasi kepada saya melalui suatu riwayat yang mengatakan bahwa “ sesuatu yang datang dariku maka bandingkanlah olehmu dengan kitabullah (Al-Qur’an). Sesuatu yang denga Al-Qur’an, berarti aku telah mengatakannya dan sesuatu yang menyalahi Al-Qur’an, berarti aku tidak mengatakannya”
Imam As-Syafi’i mengatakan bahwa sunnah sama sekali tidak akan menyalahi Al-Qur’an. Bahkan Sunnah Rasulullah akan menjelaskan arti yang terkandung dalam Al-Qur’an “aam, naskh atau manshukh. Kemudian para sahabat menunaikan ketentuannya apa yang dilakukan Rasul, karena diwajibkan oleh Allah SWT maka orang yang menerima tuntunan dari Rasulullah identik dengan menerimanya dari Allah SWT.
Imam Al-Baihaqi mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif, tidak dapat dijadikan dasar hukum, yang semisal tulisan bin Abdullah bin Dhamirah.
Kemudian Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad dari shaleh bin Musa dari Abdul Aziz bin Rafi’ dari Abi Shalih dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah bersabda : “sesungguhnya akan datang kepadamu beberapa hadits yang saling bertentangan kepdamu yang, sesuai denga Al-Qur’an dan Sunnahku itu’ berarti datwang dari ku , dan sesusatu yang datang kepadamu menyalahi Al-Qur’an dan Sunnahku berarti bukan dariku”.
Menurut pendapat kami, hal seperti itu menujukkan pengeritan sunnah sebagaimana pandangan kita, bukan menydutkan kita. Bukanlah anda dapat memperhatikan sabad Nabi saw pada hadits tersebut.” Sesuatu yang datang kepadamu yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnahku. “
Kami yang tidak melihat satupun ulama ahli hadits yang meriwayatknnya dari Abu Hurairah. Al-Baihaqi menandaskan bahwa Yahya bin Adum didalam sanad dan matannya terdapat banyak perselisihan, sehingga menjadikan hadits ini mutharib, sebab sebgian mereak menceritakan hadits itu dari Abu Hurairah dan sebagian yang lain tidak menyebut dari Abu Hurairah, memandangnya hadits Murshal. Sedang yang lain menyampaikan dengan matan : “apabila engkau meriwayatkan suatu hadits dariku, maka pertimbangkanlah dengan kitabullah.”
Perkataan dan Perbuatan Rasul yang tidak termasuk Syari’at Islam
Perkataan dan perbubatan Rasullah saw itu hanya dapat dijadikan hujjah dan harus di ikuti setiap muslim jika hal-hal tersebut datang benar-benar dari Rasul sehingga membentuk syari’at secara umum.
Allah SWT berfiman :
katakanlah, sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperit kamu yang diwahyukan kepadaku.........”(Q.S. 18 : 10)
a)      Yang bersumber dari Rasulullah saw yang sifatnya manusiawi, misalnya berdiri, duduk, berjalan, makan, tidur, minum bukanlah merupakan hukum syariat. Sebab perbuatan-perbuatan tersebut tidak bersumber dari misi kerasulannya, hanya pangkal kepada naluri kemanusiaannya.
b)      Yang bersumber dari Rasulullah saw yang sifatnya pengetahuan manusia, kepintaran dan percobaan tentang masalah dunia, misalnyamengembala, bertani, berdagang.
c)      Apa-apa yang bersumber dari Rasulullah dan ada yang menunjukkan tentang kekhususan Nabi disamping bukan merupakan syariat Islam umum, misalnya kebolehan bagi beliau untuk menikah lebia dari empat wanita.



DAFTAR PUSTAKA
Abbas Mutawatil Hammadah, Sunnah Nabi, Gema Risalah Press. Bandung. 1997.
Abdul Wahab Khalaf, Imu Ushul Fiqh, Gema Risalah Press, Bandung, 1996.
Al-Qardawi Yusuf, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar, Media Dakwah, Jakarta, 1994.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, Logos Ilmu, Jakarta,1997.
As-Suyuthi Jalaluddin, Argumentasi As-Sunnah kontra atas Penyimpangan Sumber Hukum Orisinil, Risalah Gusti. Surabaya, 1997.


ASAS – ASAS MUAMALAH_PENGERTIAN MUAMALAH DAN SISTEMATIKA MUAMALAH


A.     PENGERTIAN MUAMALAH.

Menurut etimologi ataupun bahasa berasal dari bahasa arab. Kata muamalah   المعاملة adalah bentuk masdar dari kata ‘amala   عامل- يعامل- معالة wajanya adalah      فاعل- يفاعل- مفاعلة yang artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling beramal.
Adapun pengertian muamlah menurut triminologi ataupun istilah dapat menjadi dua.

a.      Muamalah dalam arti luas.
·         Menurut Ad-Dimyati (lanah ath thalibin hal.2) bahwa “ Aktifitas untuk menghasilkan duniawi menyebabkan masalah ukhrawi.”
·         Menurut Muhammad Yusuf Musa bahwa “peraturan – peraturan Allah yang diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepetingan manusia.”
Dari dua pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa muamalah adalah aturan-aturan (hukum) Allah SWT yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniaan dan urusan sosial masyarakat.

b.      Muamalah dalam arti sempit.
·         Menurut Hudhari Beik bahwa “Muamalah adalah semua akad yang memperbolehkan manusia saling menukar manfaat.”
·         Menurut Idris Ahmad bahwa “Muamalah adalah aturan Allah yang mengatur manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik.”
·         Menurut Rasyid Ridha bahwa “Muamalah adala tukar menukar barang atau susuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.”
Kalau ketiga definisi di atas, kita telaah secara seksama muamlah dalam arti sempit menekankan keharusan untuk mentaati aturan-aturan Allah yang telah ditetapkan untuk mengatur hubugan antara manusia dengan cara memperoleh, mengatur, mengelola, dan mngembangkan mal (harta benda).
Namun menurut pengertian muamalah di atas, muamalah tidak mencakup berbagai hal yang berkaitan dengan harta, secara cara mengatur tirkah (harta waris), sebab masalah ini telah diatur dalam disiplin ilmu itu sendiri.

B.      SISTEMATIKA MUAMALAH.
a.      Golongan imam Syafi’I mempunyai sistematika sebagai berikut : jual beli, hutang piutang, pesan memesan, gadai menggadai, perikatan-perikatan yang behubungan dengan kebendaan yang lain. Diakhiri dengan bab, barang temuan beserta sayembara.

b.      Menurut Ibnu Abidin :
·         Muawadhah Maliyah ( hukum kebendaan).
·         Munakahat (hukum perkawinan).
·         Muhasanat (hukum acara).
·         Amant dan 3aryah (pinjaman).
·         Tirkah (harta peninggalan).

c.       Golongan Ahmad mempunyai sistematika : jual beli, pesan-memesan, hutang piutang, perikatan-perikatan yang berhubungan dengan kebendaan yang lain, wasiat, warisan kemudian memerdekakan budak yang diakhiri hukum “ummahatil aulad”.

d.      Dalam kitab “Majjalatul Akhamil Adliyah” yaitu fiqh muamalah dari mazhab Imam Hanafi disusun menurut UU sebagai kitab UU Hukum Perdata Pemerintah Turki Utsmani dan diundangkan pada Sya’ban 1293 H terdiri dari 1851 pasal dibagi menjadi 16 bab (kitab) yaitu : jual beli, sewa menyewa, tanggung menangguang, pemindahan hutang piutang, gadai menggadai, penyerahan kepercayaan (titipan), pemberian, penyeroboyan dan pengrusakan, pengampunan paksaan dan hak beli paksa, serikat dagang, perwakilan kuasa, perdamaian dan pembebasan hak pengakuan.