Jumat, 17 April 2015

HUKUM ASURANSI SYARI’AH DI INDOENSIA

Manusia tidak bisa lepas dari kesalahan, disengaja maupun tidak disengaja, yang dapat diperkirakan, maupun yang tidak dapat diperkirakan. Maka manusia pun berusaha agar sesuatu (musibah) yang tidak dapat diperkirakan itu bisa mengurangi penderita yang terkena musibah tersebut. Yaitu dengan membuat suatu lembaga keuangan sebagai sarana mereka saling membantu secara finansial terhadap  si penderita musibah, yaitu asuransi.
Dalam prinsip syariah hukum-hukum muamalah (transaksi bisnis) adalah bersifat terbuka, artinya Allah SWT dalam Al-Qur’an hanya memberikan aturan yang bersifat garis besarnya saja. Selebihnya terbuka bagi ulama mujtahid untuk mengembangkannya melalui pemikirannya selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an maupun Hadits tidak menyebutkan secara nyata apa dan bagaimana berasuransi. Namun bukan berarti bahwa asuransi hukumnya haram, karena ternyata dalam hukum Islam memuat substansi perasuransian secara Islami sebagai dasar operasional asuransi syariah.[1]
Salah satu sumber hukum yang dijadikan sebagai hujjah oleh para ulama adalah surah al-Maidah ayat 2 :

(.......... ..........¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ...........[2]
“....Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran....”
Pemerintah Indonesia berapresiasi dengan menerbitkan perundang-undangan tentang parsauransian. Yaitu berupa Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/ KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Dalam peraturan tersebut mengatur secara umum mekanisme pendirian perusahaan jasa perasuransian, namun dalam pasal 3 berbunyi “Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah…. Maka dari itu dasar ini lah yang memperkuat perusahaan asuransi syari’ah dapat didirikan di Indonesia.
A.    Pokok Hukum dan Perkembangan Hukum Asuransi Syari’ah di Indonesia.
1.      Definisi
Sebelum berangkat kepada hukum tersebut di Indonesia, hendaknya lebih baik kita tahu dulu apa itu asuransi. Kata asuransi bersala dari bahasa inggris, insurance, dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa populer dan diserap dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan padanan kata “pertanggungan”.[3] Bila merujuk kepada Bahasa Arab, padanan kata Asuransi adalah تأمين (ta’min).
Namun secara mutlak definis asuransi yang telah ditetapkan oleh pemerintah ialah “asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara kedua pihak atau lebih dengan mana penggung menigikatkan diri kepada pertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapakan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa tidak pasti atau memberikan suatu pembayaran yamg didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.[4]
2.      Pokok Hukum
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional NO: 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang kafalah. Mempertimbangkan dengan merujuk kepada beberapa nash :
(#qä9$s% ßÉ)øÿtR tí#uqß¹ Å7Î=yJø9$# `yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9ŽÏèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOŠÏãy
Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya."[5]
والله في عون العبد ما كا ن العبد في عون اخيه
“Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya.”
Dab kaidah fiqiah menyebutkan :
الا صل في المعا ملا ة الا با حة الا ان يدل دليل على تحر يهما
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yaitu Fatwa DSN-MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah di samping Fatwa DSN-MUI yang paling terkini yang terkait dengan akad perjanjian asuransi syariah yaitu Fatwa No.51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Mustarakah pada Asuransi Syariah, Fatwa No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah bil Ujrah pada Asuransi Syariah, Fatwa No. 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi Syariah.
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/ KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Peraturan inilah yang dapat dijadikan dasar untuk mendirikan asuransi syariah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa ”Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah…” Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 3-4 mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin usaha perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah, Pasal 32 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi konvensional, dan Pasal 33 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.[6]
 Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep. 4499/ LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah.
3.      Keharaman Asuransi Konvensional Dalam Prakternya.
Dalam kehidupan kita banyak jasa-jasa asuransi konvensional yang beroprasi, yang dimana jasa asuransi ini kebanyakannya  adalah sangat bertentangan dengan ajaran agama islam. Dan memang tujuan dari penjalan jasa asuransi ini adalah memang hanya bertujuan untuk mencapai kesejahteraan materi saja.
Adapun unsur-unsur yang diharamkan oleh syara’ atas asuransi konvensional ini adalah :
a.       Gharar (Ketidak pastian).
    Gharar menurut mazhab Imam Syafi’i adalah Al ghararu manthawwats ‘anna ‘aaqibatuhu aw maataroddada baina amroini aghlabuhuma wa akhwafuhumaa artinya: apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti.
      Ketidakpastian adalah realitas dalam kehidupan manusia. Semua umat manusia dihadapkan dengan ketidakpastian dalam kehidupan sosial dalam bisnis, risiko selalu meliputi kita apa pun yang kita lakukan. Islam tidak mengabaikan realitas ini dan tidak melarang manusia menghadai risiko dan ketidak pastian dalam hidup.[7]
      Yang tidak diizinkan atau dilarang adalah bertransaksi atau berjual beli yang mengandung unsur ketidak pastian atau gharar tersebut. Dalam asuransi konvensional terdaapt gharar karena konsep asuransi dalam mekanisme memindahkan risiko di mana inidividu atau organisasi dapat menjual ketidakpastian dengan ketidakpastian.[8]
Rasulullah SAW bersabda tentang gharar dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai berikut :
“Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli hashah dan jual beli gharar”(HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Abu Daud, Ibn Majah).
b.      Riba (Bunga Uang)
Riba adalah jual beli yang mengandung unsur ribawi dalam awaktu dan/atau julmlah yang tidak sama. Unsur yang disebutkan oleh Nabi adalah emas dengan emas, kurma denga kurma, dan garam dengan garam. Dengan analogi yang sama, uang dengan emas dan perak dalam pertukaran di abad modern. Olehkarena itu, kontrak pertukaran antara pihak penanggung dengan pihak tertanggung mengandung ubsur rubawi, yaitu berupa ganti rugi yang tidak sama.[9]
c.       Maisir (Judi)
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an tentang al Maisir (Gambling/judi) :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, judi, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.
 Mustafa Ahmad Zarqa mengatakan bahwa adanya unsur gharar menimbulkan al-qumar, sedangkan al-qumar sama dengan al maisir (judi), yaitu ada salah satu pihak yang untung tetapi ada pula pihak lain yang dirugikan. Dr. Husein Hamid Hisan mengatakan akad gharar merupakan akad judi, karena masing-masing pihak tidak menentukan pada waktu akad, jumlah yang diambil atau jumlah yang ia berikan, yakni jika menang maka ia mengetahui jumlah yang diambil, dan jika kalah maka ia mengetahui jumlah yang diberikan.
Unsur maisir dalam asuransi konvensional, disebabkan karena adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang polis asuransi jiwa meninggal dunia, sebelum akhir periode polis asuransi, namun telah membayar sebagian preminya, maka tertanggung akan menerima sejumlah uang pertanggungan sesuai sesuai yang telah direncanakan. Bagaimana cara memperoleh uang tersebut dan dari mana asalnya serta status uang tersebut secara syar’i tidak jelas. Hal inilah oleh sebagian besar ulama dipandang sebagai al maisir (perjudian), karena dalam kaidah-kaidah syara’ hal-hal seperti ini haruslah jelas akadnya.
salah satu pihak yang untung namun di lain pihak justru mengalami kerugian. Unsur ini dalam asuransi konvensional terlihat apabila selama masa perjanjian peserta tidak mengalami musibah atau kecelakaan, maka peserta tidak berhak mendapatkan apa-apa termasuk premi yang disetornya. Sedangkan, keuntungan diperoleh ketika peserta yang belum lama menjadi anggota (jumlah premi yang disetor sedikit) menerima dana pembayaran klaim yang jauh lebih besar. Dalam konsep takaful, apabila peserta tidak mengalami kecelakaan atau musibah selama menjadi peserta, maka ia tetap berhak mendapatkan premi yang disetor kecuali dana yang dimasukkan ke dalam dana tabarru (sedekah).[10]
B.     Ruang Lingkup Asuransi Syari’ah di Indonesia.
Tidak jauh berbeda dengan konsep reasuransi konvensional, reasuransi syariah pun bergerak dalam usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah perusahaan asuransi syariah melalui investasi dalam bentuk tabarrru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai syariah. Akad yang sesuai syariah yang dimaksud di sini adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat. Sementara itu, praktek yang berlaku di industri asuransi dan reasuransi konvensional sama sekali tidak mengindahkan persoalan tersebut. Di titik pangkal inilah yang membedakan konsep reasuransi syariah dengan reasuransi konvensional.
Reasuransi syariah, pada hakekatnya merupakan pengembangan dari industri asuransi syariah itu sendiri. Bahkan, konsep reasuransi syariah pun memiliki tujuan yang sama dengan asuransi syariah, yakni untuk menciptaan kerjasama yang saling menguntungkan kedua belah pihak yang terlibat, dimana satu pihak bertindak sebagai penanggung beban kerugian (insurer) yang memungkinkan akan menimpa pihak yang tertanggung (insured/policy holder). Jika pihak insurer dalam konteks asuransi syariah adalah perusahaan asuransi syariah itu sendiri, serta pihak insured adalah individu pemegang polis, maka untuk konteks reasuransi syariah, pihak insurer dalam konteks reasuransi syariah adalah perusahaan reasuransi syariah, sedangkan pihak insured adalah perusahaan asuransi syariah.

Mekanisme kerja tersebut terbentuk sedemikian rupa karena didorong oleh ruang lingkup kerja perusahaan asuransi yang cenderung lebih kepada manajemen risiko dan return akibat dari ketidakpastian akan masa depan. Risiko selalu melibatkan dua istilah, yaitu ketidakpastian dan kerugian, entah kerugian fisik maupun finansial. Yang pasti, tidak ada seorangpun atau satu perusahaan pun yang mengharapkan kerugian.
Lazimnya perusahaan asuransi akan menghadapi klaim pertangungan dari para anggota pada waktu yang tak terkirakan sebelumnya, menuntut perusahaan memiliki kebijakan untuk menentukan seberapa besar retensi yang harus ditetapkan. Dengan kata lain, ketika perusahaan berupaya untuk meminimalisir jumlah kerugian, perusahaan akan mengambil suatu jumlah tertentu sebagai jaminan atas risiko yang ditanggung, jumlah inilah yang disebut dengan retensi. Penetapan retensi ini senantiasa akan dievaluasi secara berkelanjutan. Kekeliruan dalam menetapkan batas retensi ini dapat berakibat fatal bagi kondisi keuangan perusahaan asuransi itu sendiri. Seperti halnya, jika batas retensi yang telah ditetapkan ternyata lebih rendah dari klaim yang harus dibayarkan, maka perusahaan akan menghadapi risiko reputasi sekaligus risiko default, yakni perusahaan tidak mampu menutup klaim yang diajukan oleh anggota secara penuh. Jika hal ini terjadi, selain anggota kelompok yang mengalami musibah akan dirugikan karena tidak mendapatkan ganti rugi secara penuh sebagaimana yang telah disepakati, di sisi lain, perusahaan asuransi syariah tersebut pun selanjutnya dinilai tidak amanah dalam menjalankan tugasnya. Konsekuensi logis dari kejadian ini, para anggota lain akan menarik diri dari keanggotaannya, kemudian berpindah ke perusahaan asuransi lain yang menurut mereka akan dikelola lebih baik dan amanah.
Keterbatasan kemampuan dari perusahaan-perusahaan asuransi itulah yang pada akhirnya mendorong kebutuhan akan adanya perusahaan reasuransi. Melalui mekanisme reasuransi ini tercipta saling pikul risiko, dimana perusahaan asuransi mengasuransikan kembali kelolaan premi dari para anggotanya kepada perusahaan reasuransi. Perusahaan asuransi membagi atau menyebarkan sebagian portofolio risiko premi asuransi kepada perusahaan reasuransi.
Kontrak atau akad pembagian risiko ini menjadi kebijakan perusahaan seutuhnya, yang dilakukannya dengan perusahaan reasuransi, sehingga tidak menuntut keterlibatan anggota di dalamnya. Karena itu, potensi risk dan return yang meliputi kontrak tersebut, menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi. Kendati demikian, pengaturan soal ini tentunya harus dinyatakan secara tegas sebelumnya dalam kontrak antara anggota dan perusahaan asuransi, bahwa perusahaan asuransi diperkenankan mengadakan kontrak dengan perusahaan reasuransi tanpa persetujuan anggota, sepanjang tujuannya adalah untuk melindungi perusahaan asuransi dan para anggotanya.
Salah satu alasan suatu perusahaan asuransi mengambil kebijakan untuk mengalihkan atau menyebarkan kembali risiko-risiko yang diterimanya kepada perusahaan reasuransi, tak lain,  adalah untuk menghindari suatu kerugian finansial yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena jumlah atau total uang klaim yang terjadi ternyata melebihi perkiraan yang diharapkan, sehingga melebihi kemampuan perusahaan asuransi dalam membayarnya.
Suatu perusahaan asuransi pasti akan mereasuransikan sebagian risiko tersebut kepada perusahaan reasuransi, selama biayanya lebih tinggi dibanding dengan yang dibebankan oleh perusahaan reasuransi. Dengan kata lain, jika expected loss-nya lebih tinggi daripada yang diperkirakan perusahaan reasuransi. Seberapa besar risiko yang dapat ditanggung oleh perusahaan asuransi, itulah yang dimasud dengen batas retensi. Jadi, batas retensi dapat juga dipahami sebagai batas maksimum total uang klaim yang akan ditanggung oleh perusahaan asuransi. Jika total klaim yang terjadi melebihi batas retensi tersebut, maka perusahaan reasuransi akan menanggung kekurangannya.[11]
Sula menyatakan bahwa jika ditinjau dari aspek teknis, tujuan reasuransi syariah (retakaful) adalah memang untuk mengurangi atau memperkecil beban risiko yang diterima perusahan asuransi dengan mengalihkan seluruh atau sebagian risiko itu kepada perusahaan reasuransi sebagai penanggung lain. Dengan pertanggungan ulang ini, penanggung pertama dapat mengurangi atau memperkecil risiko-risiko yang diterimanya dari sisi kerugian materil. Dalam konteks asuransi dan reasuransi syariah, sesuai dengan fatwa DSN NO: 53/DSN-MUI/III/2006, aktivitas ini dilakukan berdasarkan akad tabarru’. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong menolong, bukan semata untuk tujuan komersial. Hal ini selaras dengan firman Allah SWT dalam Q.S. al-Maidah ayat 2




Daftar Pustaka
Ali Hasan, Asuransi dalam Persepektif Hukum Islam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2004.
Faud Mohammad Fachrudin, Riba dalam Bank, Koprasi Perseroan dan Asuransi, Artha Rivera, 1982.
Iqbal Muahaimin, Asuransi Umum Syari’ah dalam Praktek, Gama Insani, Jakarta, 2005.
Muthahhari Mutadha, Asuransi dan Riba, Pustaka Hidayah, Bandaung, 1995.
Pasaribu Chairuman dkk, Riba Dalam Bank, Koprasi Perseroan dan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 1996.
UU No.2 Tahun 1992, Tentang Usaha Perasuransian


[1] www.dakwatuna.com, akses 27 mei 2010.
[2] Al-Maidah (5) : 2.
[3] Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, hlm. 57.
[4] UU No.2 Tahun 1992, Tentang Usaha Perasuransian.
[5] Yusuf (12) : 72.
[7] Muahaimin Iqbal, Asuransi Umum Syari’ah dalm Praktek, hlm. 25
[8] Ibid.
[9] Murtada Mutabahri, Asuransi dan Riba, hlm. 82
[11] lihat Djojosoedarso, hal. 69,