Manusia tidak bisa lepas dari kesalahan, disengaja maupun tidak
disengaja, yang dapat diperkirakan,
maupun yang tidak dapat diperkirakan. Maka manusia pun berusaha agar sesuatu
(musibah) yang tidak dapat diperkirakan itu bisa mengurangi penderita yang
terkena musibah tersebut. Yaitu dengan membuat suatu lembaga keuangan sebagai sarana mereka saling membantu secara finansial terhadap si penderita musibah, yaitu asuransi.
Dalam prinsip syariah hukum-hukum muamalah (transaksi bisnis) adalah bersifat terbuka, artinya Allah SWT dalam
Al-Qur’an hanya memberikan aturan yang bersifat garis besarnya saja. Selebihnya
terbuka bagi ulama mujtahid untuk mengembangkannya melalui pemikirannya selama
tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an maupun Hadits tidak
menyebutkan secara nyata apa dan bagaimana berasuransi. Namun bukan berarti
bahwa asuransi hukumnya haram, karena ternyata dalam hukum Islam memuat
substansi perasuransian secara Islami sebagai dasar operasional asuransi
syariah.[1]
Salah
satu sumber hukum yang dijadikan sebagai hujjah oleh para ulama adalah
surah al-Maidah ayat 2 :
(.......... ..........¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ...........[2]
“....Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran....”
Pemerintah
Indonesia berapresiasi
dengan menerbitkan perundang-undangan tentang parsauransian. Yaitu berupa Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/ KMK.06/2003 tentang Perizinan
Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Dalam peraturan tersebut mengatur secara
umum mekanisme pendirian perusahaan jasa perasuransian, namun dalam pasal 3
berbunyi “Setiap
pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip
syariah…”. Maka dari itu dasar ini lah yang
memperkuat perusahaan asuransi syari’ah dapat didirikan di Indonesia.
A.
Pokok Hukum dan Perkembangan Hukum
Asuransi Syari’ah di Indonesia.
1.
Definisi
Sebelum
berangkat kepada hukum tersebut di Indonesia, hendaknya lebih baik kita tahu
dulu apa itu asuransi. Kata
asuransi bersala dari bahasa inggris, insurance, dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa populer dan diserap dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan
padanan kata “pertanggungan”.[3] Bila
merujuk kepada Bahasa Arab, padanan kata Asuransi adalah تأمين (ta’min).
Namun
secara mutlak definis asuransi yang telah ditetapkan oleh pemerintah ialah
“asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara kedua pihak atau lebih
dengan mana penggung menigikatkan diri kepada pertanggung dengan menerima premi
asuransi, untuk kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapakan atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung,
yang timbul dari suatu peristiwa tidak pasti atau memberikan suatu pembayaran
yamg didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.[4]
2. Pokok Hukum
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional NO:
11/DSN-MUI/IV/2000 tentang kafalah.
Mempertimbangkan dengan merujuk kepada beberapa nash :
(#qä9$s% ßÉ)øÿtR tí#uqß¹ Å7Î=yJø9$# `yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9Ïèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOÏãy
“Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan
siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban
unta, dan aku menjamin terhadapnya."[5]
والله
في عون العبد ما كا ن العبد في عون اخيه
“Allah menolong
hamba selama hamba menolong saudaranya.”
Dab kaidah fiqiah menyebutkan :
الا
صل في المعا ملا ة الا با حة الا ان يدل دليل على تحر يهما
“Pada dasarnya,
semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.”
Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yaitu Fatwa DSN-MUI No.
21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah di samping Fatwa
DSN-MUI yang paling terkini yang terkait dengan akad perjanjian asuransi
syariah yaitu Fatwa No.51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah
Mustarakah pada
Asuransi Syariah, Fatwa No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah bil Ujrah pada Asuransi Syariah, Fatwa No.
53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi Syariah.
Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/ KMK.06/2003 tentang Perizinan
Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Peraturan
inilah yang dapat dijadikan dasar untuk mendirikan asuransi syariah sebagaimana
ketentuan dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa ”Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi
atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah…” Ketentuan yang
berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 3-4 mengenai persyaratan
dan tata cara memperoleh izin usaha perusahaan asuransi dan perusahaan
reasuransi dengan prinsip syariah, Pasal 32 mengenai pembukaan kantor cabang
dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi
konvensional, dan Pasal 33 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip
syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip
syariah.[6]
Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan
Nomor Kep. 4499/ LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah.
3. Keharaman Asuransi Konvensional Dalam
Prakternya.
Dalam kehidupan kita banyak jasa-jasa asuransi
konvensional yang beroprasi, yang dimana jasa asuransi ini kebanyakannya adalah sangat bertentangan dengan ajaran
agama islam. Dan memang tujuan dari penjalan jasa asuransi ini adalah memang
hanya bertujuan untuk mencapai kesejahteraan materi saja.
Adapun unsur-unsur yang diharamkan oleh syara’
atas asuransi konvensional ini adalah :
a. Gharar (Ketidak pastian).
Gharar menurut mazhab Imam Syafi’i adalah Al ghararu manthawwats ‘anna ‘aaqibatuhu aw maataroddada baina
amroini aghlabuhuma wa akhwafuhumaa artinya: apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita
dan akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti.
Ketidakpastian
adalah realitas dalam kehidupan manusia. Semua umat manusia dihadapkan dengan
ketidakpastian dalam kehidupan sosial dalam bisnis, risiko selalu meliputi kita
apa pun yang kita lakukan. Islam tidak mengabaikan realitas ini dan tidak
melarang manusia menghadai risiko dan ketidak pastian dalam hidup.[7]
Yang
tidak diizinkan atau dilarang adalah bertransaksi atau berjual beli yang
mengandung unsur ketidak pastian atau gharar tersebut. Dalam asuransi
konvensional terdaapt gharar karena konsep asuransi dalam mekanisme memindahkan
risiko di mana inidividu atau organisasi dapat menjual ketidakpastian dengan
ketidakpastian.[8]
Rasulullah SAW bersabda tentang
gharar dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai berikut :
“Abu Hurairah mengatakan bahwa
Rasulullah SAW melarang jual beli hashah dan jual beli gharar”(HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Abu Daud, Ibn Majah).
b.
Riba
(Bunga Uang)
Riba adalah jual beli yang mengandung unsur
ribawi dalam awaktu dan/atau julmlah yang tidak sama. Unsur yang disebutkan
oleh Nabi adalah emas dengan emas, kurma denga kurma, dan garam dengan garam.
Dengan analogi yang sama, uang dengan emas dan perak dalam pertukaran di abad
modern. Olehkarena itu, kontrak pertukaran antara pihak penanggung dengan pihak
tertanggung mengandung ubsur rubawi, yaitu berupa ganti rugi yang tidak sama.[9]
c.
Maisir
(Judi)
Allah
SWT berfirman dalam Al-Qur’an tentang al Maisir (Gambling/judi) :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsø:$# çÅ£øyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
khamar, judi, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan”.
Mustafa
Ahmad Zarqa mengatakan bahwa adanya unsur gharar menimbulkan al-qumar,
sedangkan al-qumar sama dengan al maisir (judi), yaitu ada salah satu
pihak yang untung tetapi ada pula pihak lain yang dirugikan. Dr. Husein Hamid
Hisan mengatakan akad gharar merupakan akad judi, karena masing-masing
pihak tidak menentukan pada waktu akad, jumlah yang diambil atau jumlah yang ia
berikan, yakni jika menang maka ia mengetahui jumlah yang diambil, dan jika
kalah maka ia mengetahui jumlah yang diberikan.
Unsur maisir dalam asuransi
konvensional, disebabkan karena adanya unsur gharar, terutama dalam
kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang polis asuransi jiwa meninggal dunia,
sebelum akhir periode polis asuransi, namun telah membayar sebagian preminya,
maka tertanggung akan menerima sejumlah uang pertanggungan sesuai sesuai yang
telah direncanakan. Bagaimana cara memperoleh uang tersebut dan dari mana
asalnya serta status uang tersebut secara syar’i tidak jelas. Hal inilah
oleh sebagian besar ulama dipandang sebagai al maisir (perjudian), karena dalam
kaidah-kaidah syara’ hal-hal seperti ini haruslah jelas akadnya.
salah satu pihak yang untung namun di lain
pihak justru mengalami kerugian. Unsur ini dalam asuransi konvensional terlihat
apabila selama masa perjanjian peserta tidak mengalami musibah atau kecelakaan,
maka peserta tidak berhak mendapatkan apa-apa termasuk premi yang disetornya.
Sedangkan, keuntungan diperoleh ketika peserta yang belum lama menjadi anggota
(jumlah premi yang disetor sedikit) menerima dana pembayaran klaim yang jauh
lebih besar. Dalam konsep takaful, apabila peserta tidak mengalami kecelakaan
atau musibah selama menjadi peserta, maka ia tetap berhak mendapatkan premi
yang disetor kecuali dana yang dimasukkan ke dalam dana tabarru (sedekah).[10]
B. Ruang Lingkup Asuransi
Syari’ah di Indonesia.
Tidak jauh berbeda dengan konsep reasuransi konvensional,
reasuransi syariah pun bergerak dalam usaha saling melindungi dan tolong
menolong di antara sejumlah perusahaan asuransi syariah melalui investasi dalam
bentuk tabarrru’ yang memberikan pola
pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai syariah.
Akad yang sesuai syariah yang dimaksud di sini adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zulm
(penganiayaan), risywah (suap),
barang haram dan maksiat. Sementara itu, praktek yang berlaku di industri
asuransi dan reasuransi konvensional sama sekali tidak mengindahkan persoalan
tersebut. Di titik pangkal inilah yang membedakan konsep reasuransi syariah
dengan reasuransi konvensional.
Reasuransi syariah, pada hakekatnya merupakan pengembangan dari
industri asuransi syariah itu sendiri. Bahkan, konsep reasuransi syariah pun
memiliki tujuan yang sama dengan asuransi syariah, yakni untuk menciptaan
kerjasama yang saling menguntungkan kedua belah pihak yang terlibat, dimana
satu pihak bertindak sebagai penanggung beban kerugian (insurer) yang memungkinkan akan menimpa pihak yang tertanggung (insured/policy holder). Jika pihak insurer dalam konteks asuransi syariah
adalah perusahaan asuransi syariah itu sendiri, serta pihak insured adalah individu pemegang polis,
maka untuk konteks reasuransi syariah, pihak insurer dalam konteks reasuransi syariah adalah perusahaan
reasuransi syariah, sedangkan pihak insured
adalah perusahaan asuransi syariah.
Mekanisme kerja tersebut terbentuk sedemikian rupa karena didorong
oleh ruang lingkup kerja perusahaan asuransi yang cenderung lebih kepada
manajemen risiko dan return akibat dari ketidakpastian akan
masa depan. Risiko selalu melibatkan dua istilah, yaitu ketidakpastian dan
kerugian, entah kerugian fisik maupun finansial. Yang pasti, tidak ada
seorangpun atau satu perusahaan pun yang mengharapkan kerugian.
Lazimnya perusahaan asuransi akan menghadapi klaim pertangungan
dari para anggota pada waktu yang tak terkirakan sebelumnya, menuntut
perusahaan memiliki kebijakan untuk menentukan seberapa besar retensi yang
harus ditetapkan. Dengan kata lain, ketika perusahaan berupaya untuk
meminimalisir jumlah kerugian, perusahaan akan mengambil suatu jumlah tertentu sebagai
jaminan atas risiko yang ditanggung, jumlah inilah yang disebut dengan retensi.
Penetapan retensi ini senantiasa akan dievaluasi secara berkelanjutan.
Kekeliruan dalam menetapkan batas retensi ini dapat berakibat fatal bagi
kondisi keuangan perusahaan asuransi itu sendiri. Seperti halnya, jika batas
retensi yang telah ditetapkan ternyata lebih rendah dari klaim yang harus
dibayarkan, maka perusahaan akan menghadapi risiko reputasi sekaligus risiko default, yakni perusahaan tidak mampu
menutup klaim yang diajukan oleh anggota secara penuh. Jika hal ini terjadi,
selain anggota kelompok yang mengalami musibah akan dirugikan karena tidak
mendapatkan ganti rugi secara penuh sebagaimana yang telah disepakati, di sisi
lain, perusahaan asuransi syariah tersebut pun selanjutnya dinilai tidak amanah
dalam menjalankan tugasnya. Konsekuensi logis dari kejadian ini, para anggota
lain akan menarik diri dari keanggotaannya, kemudian berpindah ke perusahaan
asuransi lain yang menurut mereka akan dikelola lebih baik dan amanah.
Keterbatasan kemampuan dari perusahaan-perusahaan asuransi itulah
yang pada akhirnya mendorong kebutuhan akan adanya perusahaan reasuransi.
Melalui mekanisme reasuransi ini tercipta saling pikul risiko, dimana
perusahaan asuransi mengasuransikan kembali kelolaan premi dari para anggotanya
kepada perusahaan reasuransi. Perusahaan asuransi membagi atau menyebarkan
sebagian portofolio risiko premi asuransi kepada perusahaan reasuransi.
Kontrak atau akad pembagian risiko ini menjadi kebijakan perusahaan
seutuhnya, yang dilakukannya dengan perusahaan reasuransi, sehingga tidak
menuntut keterlibatan anggota di dalamnya. Karena itu, potensi risk dan return
yang meliputi kontrak tersebut, menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi.
Kendati demikian, pengaturan soal ini tentunya harus dinyatakan secara tegas
sebelumnya dalam kontrak antara anggota dan perusahaan asuransi, bahwa
perusahaan asuransi diperkenankan mengadakan kontrak dengan perusahaan
reasuransi tanpa persetujuan anggota, sepanjang tujuannya adalah untuk
melindungi perusahaan asuransi dan para anggotanya.
Salah satu alasan suatu perusahaan asuransi mengambil kebijakan
untuk mengalihkan atau menyebarkan kembali risiko-risiko yang diterimanya
kepada perusahaan reasuransi, tak lain,
adalah untuk menghindari suatu kerugian finansial yang lebih besar. Hal
ini disebabkan karena jumlah atau total uang klaim yang terjadi ternyata
melebihi perkiraan yang diharapkan, sehingga melebihi kemampuan perusahaan
asuransi dalam membayarnya.
Suatu perusahaan asuransi pasti akan mereasuransikan sebagian
risiko tersebut kepada perusahaan reasuransi, selama biayanya lebih tinggi
dibanding dengan yang dibebankan oleh perusahaan reasuransi. Dengan kata lain,
jika expected loss-nya lebih tinggi daripada yang diperkirakan perusahaan
reasuransi. Seberapa besar risiko yang dapat ditanggung oleh perusahaan
asuransi, itulah yang dimasud dengen batas retensi. Jadi, batas retensi dapat
juga dipahami sebagai batas maksimum total uang klaim yang akan ditanggung oleh
perusahaan asuransi. Jika total klaim yang terjadi melebihi batas retensi
tersebut, maka perusahaan reasuransi akan menanggung kekurangannya.[11]
Sula menyatakan bahwa jika ditinjau dari aspek teknis, tujuan
reasuransi syariah (retakaful) adalah
memang untuk mengurangi atau memperkecil beban risiko yang diterima perusahan
asuransi dengan mengalihkan seluruh atau sebagian risiko itu kepada perusahaan
reasuransi sebagai penanggung lain. Dengan pertanggungan ulang ini, penanggung
pertama dapat mengurangi atau memperkecil risiko-risiko yang diterimanya dari
sisi kerugian materil. Dalam konteks asuransi dan reasuransi syariah, sesuai
dengan fatwa DSN NO: 53/DSN-MUI/III/2006, aktivitas ini dilakukan berdasarkan
akad tabarru’. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang
dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong menolong, bukan semata untuk
tujuan komersial. Hal ini selaras dengan firman Allah SWT dalam Q.S. al-Maidah
ayat 2
Daftar Pustaka
Ali
Hasan, Asuransi dalam Persepektif Hukum Islam, Fajar Interpratama Offset,
Jakarta, 2004.
Faud
Mohammad Fachrudin, Riba dalam Bank, Koprasi Perseroan dan Asuransi,
Artha Rivera, 1982.
Iqbal
Muahaimin, Asuransi Umum Syari’ah dalam Praktek, Gama Insani, Jakarta,
2005.
Muthahhari
Mutadha, Asuransi dan Riba, Pustaka Hidayah, Bandaung, 1995.
Pasaribu
Chairuman dkk, Riba Dalam Bank, Koprasi
Perseroan dan Asuransi, Sinar
Grafika, Jakarta, 1996.
UU No.2 Tahun 1992, Tentang Usaha Perasuransian